Senin, 16 November 2015

Pendidikan Anak

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang paling awal dan sangat mempengaruhi perkembangan seorang anak. Oleh karena itu, kedua orang tua hendaknya berusaha menciptakan rumah tangganya yang harmonis dan didasari nilai-nilai agama sehingga anak memperoleh pendidikan memadai sejak dini. Jenis pendidikan untuk seorang anak dimulai sejak anak di dalam kandungan atau disebut dengan pendidikan sebelum lahir.
Pembinaan kepribadian itu dimulai tidak hanya anak lahir, melainkan dimulai sejak anak dalam kandungan. Oleh karena itu, kita dibimbing oleh agama, dimana ketahanan mental dan moral cukup kuat  untuk menempuh dan menentang segala pengaruh negatif, dari manapun datangnya, maka perlu sekali unsur-unsur agama itu terjalin dalam kepribadian anak yang masih dalam kandungan. Melalui sikap mental yang baik (sikap mental agama) yang dijadikan sebagai praktek kehidupan kedua orang tua.

Maka untuk memperoleh mental yang baik dan sehat bagi anak, hendaknya sejak dari kandungan telah dihindarkan dari pengaruh negatif yang datangnya dari orang tua itu sendiri. Seperti: (1) menjauhkan dari hal-hal yang dianggap kurang baik atau dilarang agama, mencaci maki dan bergunjing misalnya. (2) Tekun melakukan ibadah. (3) selalu bersikap sabar, menahan marah serta meningkatkan kasih sayang, baik antara suami isteri, kepada orang tua dan tetangga dan teman-teman.

Para ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa pembinaan mental dan kepribadian itu dimulai jauh sebelum dalam kandungan, yaitu sejak adanya pemilihan jodoh lalu dilakukan pernikahan. Kemudian kedua calon ibu bapak itu selalu rukun dan damai dan tetap taat dalam menjalan agama sesuai yang dianut mereka.

Setelah melahirkan, tentu orang tua diwajibkan merawat, membesarkan dan terutama memberikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Kewajiban orang tualah menjaga dan memlihara anak demi kesehatan dan keselarasan pertumbuhan jasmani dan rohani. Orang tua bekerwajiban pula, membimbing anaknya dan juga membiasakan dirinya untuk hidup tertatur. Orang tua berkewajiban pula mendidik dan melatih kemampuan berpikir anaknya, juga harus melengkapi keperluan yang dibutuhkan guna pertumbuhannya menjadi manusia dewasa.

Karena rumah adalah pendidikan yang utama. Selain di sekolah, di dalam rumah anak dapat diajarkan oleh kedua orang tua mereka. Terutama ibu. Ibu adalah sekolah utama bagi anaknya. Dengan ibunya jualah berbagai macam diajarkan, tentunya juga ditambah peran ayah.

Lalu bagaimana sebaiknya orang tua dapat melatih kecedasan anaknya? Menurut beberapa ahli, ada berbagai macam kecerdasan. Adapun kecerdasan itu adalah IQ, EQ dan SQ. Di dalam sebuah kehidupan, manusia mempunyai tiga macam jenis kecerdasan, yang mana dari ketiga jenis kecerdasan tersebut mempunyai fungsi paling utama untuk mengendalikan aktifitas tubuh kita dalam kehidupan dimuka bumi ini. Pada dasarnya setiap individu memiliki tiga jenis kecerdasan, yang mana masing-masing dari kecerdasan itu memiliki fungsi yang sangat berarti.

Kecerdasan IQ (Intelectual Question) biasa di identikkan dengan kecerdasan untuk mengolah dan berfikir kognitif. Kecerdasan yang terukur oleh angka-angka sejak kita mulai bersekolah sampai saat kita menyelesaikan perkuliahan adalah kecerdasan Intelektual. Kecerdasan  yang ditimbulkan oleh sistem kerja otak kiri. Kecerdasan EQ (Emotional Question) biasa disebut kecerdasan dalam mengendalikan diri, semangat dan ketekunan serta kemampuan dalam memotivasi diri sendiri untuk mengatasi frustasi dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan SQ (Spiritual Question) diartikan sebagai kecerdasan dalam berakhlak dan beragama yaitu pendekatan diri terhadap Tuhan YME. Namun pada tulisan kali ini kita akan membahas tentang kecerdasan  EQ atau Emotional Question pada anak.

Lawrence E. Shapiro memaparkan berbagai pemikiran tentang bagaimana mengajarkan Emotional Inteligence pada anak. Berbagai penelitian para ahli yang menunjukan bahwa kecerdasan emosional, keterampilan sosial dan emosional yang membentuk “karakter” lebih penting bagi keberhasilan anak dibandingkan kecerdasan kognitif yang dkukur melalui IQ. Tidak seperti IQ, kecerdasan emosional dapat diajarkan pada setiap tahap perkembangan anak. Lawrence E. Shapiro memberikan saran praktis yang dilaksanakan untuk mengajarkan kecerdasan emosional bagi anak terutama bagaimana (a) membina hubungan persahabatan, (b) bekerja dalam kelompok, (c) berbicara dan mendengarkan secara efektif, (d) mencapai prestasi lebih tinggi, (e) mengatasi masalah dengan teman yang nakal, (f) berempati pada sesama, (g) memecahkan masalah, (h) mengatasi konflik, (i) membangkitkan rasa humor, (j) memotivasi diri apabila menghadapi rasa sulit, (k) menghadapi situasi sulit dengan percaya diri, (l) menjalin keakraban, dan (m) memanfaatkan komputer untuk meningkatkan keterampilan emosional.

Kecerdasan emosional merupakan hal yang baik untuk membesarkan anak. Mempelajari perkembangan kepribadian anak, Inteligence Quotient (IQ) merupakan salah satu alat yang banyak digunakan untuk mengetahuinya. Namun, belakangan berkembang suatu alat yang disebut dengan Emotional Quotient (EQ) yang oleh para pakar dianggap sebagai salah satu alat yang baik untuk mengukur kecerdasan emosional anak. Menurut Lawrence, kecerdasan emosional anak dapat dilihat pada (a) keuletan, (b) optimisme, (c) motivasi diri, dan (d) antusiasme. Lebih lanjut Lawrence mengemukakan kecerdasan emosional (EQ) pengukurannya bukan didasarkan pada kepintaran seseorang anak, tetapi melalui sesuatu yang disebut dengan karakteristik pribadi atau karakter.

Berbagai penelitian menemukan keterampilan sosial akan semakin penting peranannya dalam kehidupan daripada kemampuan intelektual. Atau dengan kata lain, memiliki EQ tinggi lebih penting dalam pencapaian keberhasilan ketimbang IQ tinggi yang diukur berdasarkan uji standar terhadap kecerdasan kognitif verbal dan nonverbal.


Jadi dapat disimpulkan bahwa peran orang tua dalam merawat dan mencerdaskan anak sangatlah penting. Sebab segala apa yang ditindak dan perbuat orang tua, tentunya anak juga tiru. Mengajarkan anak tentang hal-hal yang positif dan kemampuan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain adalah sesuatu perlu ditekankan. 
Share: 

1 komentar:

  1. Rasanya puas bukan kuliah dari keringat sendiri,, saya senin - Jumat kerja di Jakarta dan sabtu- minggu di Serang untuk kuliah... berat memang perjalanannya tapi apa yang kita rasakan mungkin tak banyak yang tahu... hingga akhirinya saat wisuda,, saya diberikan hadiah beasiswa S2 dengan syarat menjadi dosen di kampus saya..



    dan sayang nya saya tidak ambil tersebut karena saya menyadari saya tidak ada keinginan menjadi dosen

    BalasHapus

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda