Keluarga
merupakan lingkungan pendidikan yang paling awal dan sangat mempengaruhi
perkembangan seorang anak. Oleh karena itu, kedua orang tua hendaknya berusaha menciptakan
rumah tangganya yang harmonis dan didasari nilai-nilai agama sehingga anak
memperoleh pendidikan memadai sejak dini. Jenis pendidikan untuk seorang anak
dimulai sejak anak di dalam kandungan atau disebut dengan pendidikan sebelum
lahir.
Maka untuk
memperoleh mental yang baik dan sehat bagi anak, hendaknya sejak dari kandungan
telah dihindarkan dari pengaruh negatif yang datangnya dari orang tua itu
sendiri. Seperti: (1) menjauhkan dari hal-hal yang dianggap kurang baik atau
dilarang agama, mencaci maki dan bergunjing misalnya. (2) Tekun melakukan
ibadah. (3) selalu bersikap sabar, menahan marah serta meningkatkan kasih
sayang, baik antara suami isteri, kepada orang tua dan tetangga dan
teman-teman.
Para ahli ilmu
jiwa mengatakan bahwa pembinaan mental dan kepribadian itu dimulai jauh sebelum
dalam kandungan, yaitu sejak adanya pemilihan jodoh lalu dilakukan pernikahan.
Kemudian kedua calon ibu bapak itu selalu rukun dan damai dan tetap taat dalam
menjalan agama sesuai yang dianut mereka.
Setelah
melahirkan, tentu orang tua diwajibkan merawat, membesarkan dan terutama
memberikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Kewajiban orang tualah
menjaga dan memlihara anak demi kesehatan dan keselarasan pertumbuhan jasmani
dan rohani. Orang tua bekerwajiban pula, membimbing anaknya dan juga
membiasakan dirinya untuk hidup tertatur. Orang tua berkewajiban pula mendidik
dan melatih kemampuan berpikir anaknya, juga harus melengkapi keperluan yang
dibutuhkan guna pertumbuhannya menjadi manusia dewasa.
Karena rumah
adalah pendidikan yang utama. Selain di sekolah, di dalam rumah anak dapat
diajarkan oleh kedua orang tua mereka. Terutama ibu. Ibu adalah sekolah utama
bagi anaknya. Dengan ibunya jualah berbagai macam diajarkan, tentunya juga
ditambah peran ayah.
Lalu bagaimana
sebaiknya orang tua dapat melatih kecedasan anaknya? Menurut beberapa ahli, ada
berbagai macam kecerdasan. Adapun kecerdasan itu adalah IQ, EQ dan SQ. Di dalam sebuah
kehidupan, manusia mempunyai tiga macam jenis kecerdasan, yang mana dari ketiga
jenis kecerdasan tersebut mempunyai fungsi paling utama untuk mengendalikan
aktifitas tubuh kita dalam kehidupan dimuka bumi ini. Pada dasarnya setiap
individu memiliki tiga jenis kecerdasan, yang mana masing-masing dari
kecerdasan itu memiliki fungsi yang sangat berarti.
Kecerdasan IQ (Intelectual Question)
biasa di identikkan dengan kecerdasan untuk mengolah dan berfikir kognitif.
Kecerdasan yang terukur oleh angka-angka sejak kita mulai bersekolah sampai
saat kita menyelesaikan perkuliahan adalah kecerdasan Intelektual. Kecerdasan
yang ditimbulkan oleh sistem kerja otak kiri. Kecerdasan EQ (Emotional
Question) biasa disebut kecerdasan dalam mengendalikan diri, semangat dan
ketekunan serta kemampuan dalam memotivasi diri sendiri untuk mengatasi
frustasi dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan SQ (Spiritual Question)
diartikan sebagai kecerdasan dalam berakhlak dan beragama yaitu pendekatan diri
terhadap Tuhan YME. Namun pada tulisan kali ini kita akan membahas tentang
kecerdasan EQ atau Emotional Question
pada anak.
Lawrence E.
Shapiro memaparkan berbagai pemikiran tentang bagaimana mengajarkan Emotional Inteligence pada anak.
Berbagai penelitian para ahli yang menunjukan bahwa kecerdasan emosional,
keterampilan sosial dan emosional yang membentuk “karakter” lebih penting bagi
keberhasilan anak dibandingkan kecerdasan kognitif yang dkukur melalui IQ.
Tidak seperti IQ, kecerdasan emosional dapat diajarkan pada setiap tahap
perkembangan anak. Lawrence E. Shapiro memberikan saran praktis yang
dilaksanakan untuk mengajarkan kecerdasan emosional bagi anak terutama
bagaimana (a) membina hubungan persahabatan, (b) bekerja dalam kelompok, (c)
berbicara dan mendengarkan secara efektif, (d) mencapai prestasi lebih tinggi,
(e) mengatasi masalah dengan teman yang nakal, (f) berempati pada sesama, (g)
memecahkan masalah, (h) mengatasi konflik, (i) membangkitkan rasa humor, (j)
memotivasi diri apabila menghadapi rasa sulit, (k) menghadapi situasi sulit
dengan percaya diri, (l) menjalin keakraban, dan (m) memanfaatkan komputer
untuk meningkatkan keterampilan emosional.
Kecerdasan
emosional merupakan hal yang baik untuk membesarkan anak. Mempelajari
perkembangan kepribadian anak, Inteligence Quotient (IQ) merupakan salah satu
alat yang banyak digunakan untuk mengetahuinya. Namun, belakangan berkembang
suatu alat yang disebut dengan Emotional Quotient (EQ) yang oleh para pakar
dianggap sebagai salah satu alat yang baik untuk mengukur kecerdasan emosional
anak. Menurut Lawrence, kecerdasan emosional anak dapat dilihat pada (a)
keuletan, (b) optimisme, (c) motivasi diri, dan (d) antusiasme. Lebih lanjut
Lawrence mengemukakan kecerdasan emosional (EQ) pengukurannya bukan didasarkan
pada kepintaran seseorang anak, tetapi melalui sesuatu yang disebut dengan
karakteristik pribadi atau karakter.
Berbagai
penelitian menemukan keterampilan sosial akan semakin penting peranannya dalam
kehidupan daripada kemampuan intelektual. Atau dengan kata lain, memiliki EQ
tinggi lebih penting dalam pencapaian keberhasilan ketimbang IQ tinggi yang diukur
berdasarkan uji standar terhadap kecerdasan kognitif verbal dan nonverbal.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa peran orang tua dalam merawat dan mencerdaskan anak sangatlah
penting. Sebab segala apa yang ditindak dan perbuat orang tua, tentunya anak
juga tiru. Mengajarkan anak tentang hal-hal yang positif dan kemampuan yang
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain adalah sesuatu perlu ditekankan.
Rasanya puas bukan kuliah dari keringat sendiri,, saya senin - Jumat kerja di Jakarta dan sabtu- minggu di Serang untuk kuliah... berat memang perjalanannya tapi apa yang kita rasakan mungkin tak banyak yang tahu... hingga akhirinya saat wisuda,, saya diberikan hadiah beasiswa S2 dengan syarat menjadi dosen di kampus saya..
BalasHapusdan sayang nya saya tidak ambil tersebut karena saya menyadari saya tidak ada keinginan menjadi dosen