Senin, 26 Desember 2016

Anak Nelayan

Anak Nelayan
Rahmat Menong
Hembusan ombak menghiasi birunya lautan. Angin sepoi-sepoi yang juga menambah kedinginan di malam itu. Tengah  malam dilautan aku bersama bapak, mencari ikan seperti biasanya. Kami terdiam, tiba-tiba ayah berkata padaku.
”Dalam setiap perjalanan hidup itu terkadang ada rintangan, namun begitu banyak kenangan yang membekas dihati. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tak lepas dari interaksi sesama manusia. Kita sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan orang lain. Dengan tanpa mengecualikan itu semua, pasti dan pasti itu”. Pesan bapak padaku.

“Kalo ingat emakmu, senyumnya, tawanya dan juga kesederhaanannya yang membuat bapak kagum nak. Bapak gak bisa bayangkan, walaupun bapak lagi gak ada uang, dia tetap selalu senyum, jarang marah. Itulah yang membuat bapak makin sayang sama emakmu”.

“Kalo bapak bandingkan dengan beberapa saudaranya, hanya dia yang menerima berapapun penghasilan suaminya. Yang lain tak seperti dia. Yang lain, jika suaminya tidak ada uang, melaut tidak mendapatkan barang seekorpun ikan, maka, pasti suaminya dimarah dan dibentak. Dan itu juga membuat bapak semakin sayang dengan emakmu nak. Kalo kamu ingin cari istri, cobalah untuk mencari teladan sepertinya”.

Emak selalu menjadi teladan buat anaknya. Emak juga yang membesarkan kita. Mengajari kita dengan didikannya, pun juga beliaulah yang selalu terbangun tengah malam, demi menghibur tak kala kita menangis ditengah malam.

Namaku Andi. Aku dibesarkan di daerah pesisiran pantai di Kalbar. Sebagai daerah pesisir yang masyarakatnya sebagian besar bekerja nelayan, tak jarang semasa kecilku, kuhabiskan dilaut. Di laut, sekedar untuk mencari hiburan, mencari uang buat tambah jajan sekolahku dan juga jika sedang lapar dan di rumah tidak ada lauk, maka aku dengan senang hati pergi ke laut untuk mencari ikan. Selain pergi melaut seorang diri, tak jarang aku juga ikut bersama bapak ku melaut. Membantu beliau menangkap ikan buat kebutuhan uang jajan sekolahku. Disaat tengah lautlah, bapak menceritakan tentang betapa bahagianya bapak punya istri seperti emak.

Seperti pada buku-buku yang pernah ku baca sebelumnya. Yakni tentang hijrah Nabi Muhammad SAW. Hijrah akan membentuk kita untuk semakin berubah dan terutama, hijrah bisa mengubah nasib seseorang. hijrah itu pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Hijrah diartikan sebagai bentuk perubahan dari sikap yang lemah ke kekuat. Dapat diartikan pula dari kebodohan ke pandaian. Kesemua itu adalah bentuk dari perubahan kita. Singkatnya hijrah itu adalah perubahan diri manusia. Nabi Muhammad sendiri hijrah dari Mekkah ke Madinah hanya untuk mencari perubahan. Yaitu perubahan untuk mempersiapkan dakwah dan strateginya. Begitupun pula kita sebagai manusia biasa yang tak luput dari dosa dan salah. Sudah sepantasnya kita hijrah dari kegelapan ke jalan benderang. Dari kemiskinan ke jalan finansial yang cukup dan tentunya kita merasa bersyukur terhadap apa yang kita punya. Makanya dengan ini. Aku bertekat untuk hijrah, aku akan melanjutkan sekolah di kota.

Akulah Andi. Anak nelayan. Hijrah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Agar apa yang kita jalani dikehidupan ini tidak terlalu monoton dan tentunya pengalaman dan wawasan kita pun akan bertambah adanya. Makanya aku ingin hijrah dari kampung. 

“Aku tak ingin terus-terusan melaut seperti ini. Aku tak ingin menjadi nelayan. Aku mau sekolah setinggi-tingginya, meraih cita, membahagiakan kedua orang tua dan tentunya bisa bermanfaat bagi agama, bangsa dan negara tercinta ini”. Kataku pada ayah disaat kami berbicara ditengah laut.

Memang apa yang tidak mungkin dari seorang nelayan? Mengarungi lautan yang luas. Berteman terik matahari, bercengkrama dengan nyanyian senandung ombak. Akan menyesal bila pulang tak seekor pun tangkapan yang di dapati. Akan merugi bila kembali dengan tangan kosong. Akan malu bila ketahuan mabuk di laut. Pun akan malu jua bila sia-sia menghabiskan waktu di laut tanpa hasil apapun.

Laut itu luas, seluas rahmat-Nya Allah SWT. Sungguh aneh bila kita mengeluh dengan keadaan diri yang tak sesuai dengan harapan yang di ingini. Akan aneh bila kita menyalahkan Tuhan  jika Dia tak memberi kita rezeki. Padahal rezekinya luas, seluas lautan.

Tergantung kitanya bagaimana memanfaatkan laut itu. Tergantung kita bagaimana mencari berkah di bahtera samudera nan luas. Jadilah hidup seperti nelayan. Pantang menyerah dan berputus asa. 

Bila hari ini belum musim ikan ataupun udang. Siapa tahu besok akan ada rahmat-Nya. Boleh jadi besok akan ada musim ikan dan udang. Karena tak selamanya hidup kita susah dan begini terus. Hanya kitalah yang bisa merubah keadaan diri. Nelayan bila tak ditemukan ikan di tempatnya. Dia akan pergi jauh. Mencari tempat-tempat yang banyak ikannya. Setelah banyak yang di dapatinya, barulah dia kembali ke rumah, bercengkrama dengan keluarga tercinta.

Sampai disitu belum selesai jua, ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya. Terlebih membersihkan kapal-kapal yang telah di pakai untuk melaut. Kapal ini dibersihkan sebersihnya untuk dipersiapkan di hari esok, jika hendak akan melaut. Bisa dibayangkan bagaimana kesibukan nelayan, sebab aku nelayan.

Hei. Syukurlah sekarang aku tidak melaut lagi. Setelah lulus sekolah menengah pertama, aku melanjutkan ke sekolah menengah atas di kota, hingga kuliah pun, aku tetap belajar di kota ini. Kota khatulistiwa. Pontianak. Akan aku ceritakan kisah pertemanan sahabat-sahabatku yang hebat dan juga seorang gadis yang pernah sempat singgah dihati. 

Walaupun tidak sempat ku miliki, tapi setidaknya aku bisa bilang padanya bahwa sebenarnya kamulah yang ku inginkan. Bukan dia. Sekali lagi bukan dia. Tapi kenyataannya keadaan berbalik 180*, yang kuinginkan dia tapi lain yang diharapkan. Akhirnya, tak ku dapatkan dia, walau seberapa keras usaha yang ku lakukan. Tetap saja tidak bisa. Meskipun kami sama-sama saling ada rasa cinta. 

Hujan di kota Khatulistiwa. Hujan mengingatkanku padamu. Padamu yang pernah singgah dihati. Padamu yang pernah bersama disaat sore hujan turun. Dikala hujan memang terasa menyakitkan mana kala teringat dirimu.

Semilir sejuk angin yang berhembus dari rangkaian Sungai Kapuas. Langit-langit di jalan kota Pontianak memang tak mendukung. Hembusan angin musim hujan, mengalir menerpa di tepian gang-gang. Angin itu lalu, menyebar menciptakan kesejukan di sepanjang jalan. Hujan turun semakin deras. Suasana semakin terasa dingin. Selain keindahan, kota khatulistiwa ini memiliki sejarah yang sangat menakjubkan. Apalagi kalau kisah tentang larinya hantu kuntilanak yang diusir dengan meriam oleh Sultan Pontianak dan para kawan-kawannya. Maka seakan-akan aku tak percaya. Kini aku berada di kota Khatulistiwa, sama dengan tidak percayanya ketika dulu untuk pertama kalinya menginjakan kaki di kota ini. 

Pepohonan di belakang rumah tampak mengigil. Pohon-pohon itu seperti sekarat dalam kedinginan di musim penghujan. Angin menggoyangkan ranting dan dahannya. Dedaunan pohon itupun berguguran kemana-mana. Ah, itulah yang ku lihat di suasana waktu itu. dingin menerpa. Pulang kehujanan dan terpaksa harus berteduh terlebih dahulu.

Ku kumpulkan segala rasa pada tulisan. Tak memberikan celah sedikitpun untuk membuang rasa yang tak pernah ku mengerti. Walau dirimu hanya bayang semu, dalam setiap mimpiku. Hujan yang selalu setia menemaniku dan dalam khayal tentangmu. Walau diriku membenci hujan dan dirimu yang menyukai hujan. Namun kita sama-sama menyukai pelangi setelah hujan. 

Sore itu hujan sangat deras. Aku terpaksa pulang dengan badan basah kuyup. Dingin menyelimuti seluruh badan. Sudah menjadi kebiasaan setiap waktu hujan kala sore tiba, aku sengaja pulang dalam hujan. Sengaja berbasah-basah menikmati rintik hujan. Ini memang sudah menjadi kegemaranku mandi dalam hujan. Walau tidak seperti masa kecil dulu, tapi apa salahnya melawan hujan yang deras tersebut.

Hujan selalu membawa cerita sendu di setiap tetesnya. Di sana, awan hitam menggelantung dengan muram siap menumpahkan isinya. Hujan memiliki peran mengenai arti kesendirian, pengharapan, terabaikan, dan setiap tetes air mata.

Akulah anak nelayan. Mencoba untuk bertahan, tertatih dari kegelapan menuju terang benderang dengan menggapai ilmu sebanyak-banyaknya, meraih cita setinggi langit dan tak kalah pentingnya, aku ingin bahagiakan kedua orang tuaku. Aku pasti bisa.
           





           




Share: 

11 komentar:

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda