Anak
Nelayan
Rahmat
Menong
Hembusan
ombak menghiasi birunya lautan. Angin sepoi-sepoi yang juga menambah kedinginan
di malam itu. Tengah malam dilautan aku bersama bapak, mencari ikan seperti
biasanya. Kami terdiam, tiba-tiba ayah berkata padaku.
”Dalam
setiap perjalanan hidup itu terkadang ada rintangan, namun begitu banyak
kenangan yang membekas dihati. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tak lepas dari
interaksi sesama manusia. Kita sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan orang
lain. Dengan tanpa mengecualikan itu semua, pasti dan pasti itu”. Pesan bapak
padaku.
“Kalo
ingat emakmu, senyumnya, tawanya dan juga kesederhaanannya yang membuat bapak
kagum nak. Bapak gak bisa bayangkan, walaupun bapak lagi gak ada uang, dia
tetap selalu senyum, jarang marah. Itulah yang membuat bapak makin sayang sama
emakmu”.
“Kalo
bapak bandingkan dengan beberapa saudaranya, hanya dia yang menerima berapapun
penghasilan suaminya. Yang lain tak seperti dia. Yang lain, jika suaminya tidak
ada uang, melaut tidak mendapatkan barang seekorpun ikan, maka, pasti suaminya
dimarah dan dibentak. Dan itu juga membuat bapak semakin sayang dengan emakmu
nak. Kalo kamu ingin cari istri, cobalah untuk mencari teladan sepertinya”.
Emak
selalu menjadi teladan buat anaknya. Emak juga yang membesarkan kita. Mengajari
kita dengan didikannya, pun juga beliaulah yang selalu terbangun tengah malam,
demi menghibur tak kala kita menangis ditengah malam.
Namaku
Andi. Aku dibesarkan di daerah pesisiran pantai di Kalbar. Sebagai daerah
pesisir yang masyarakatnya sebagian besar bekerja nelayan, tak jarang semasa
kecilku, kuhabiskan dilaut. Di laut, sekedar untuk mencari hiburan, mencari
uang buat tambah jajan sekolahku dan juga jika sedang lapar dan di rumah tidak
ada lauk, maka aku dengan senang hati pergi ke laut untuk mencari ikan. Selain
pergi melaut seorang diri, tak jarang aku juga ikut bersama bapak ku melaut.
Membantu beliau menangkap ikan buat kebutuhan uang jajan sekolahku. Disaat
tengah lautlah, bapak menceritakan tentang betapa bahagianya bapak punya istri
seperti emak.
Seperti
pada buku-buku yang pernah ku baca sebelumnya. Yakni tentang hijrah Nabi
Muhammad SAW. Hijrah akan membentuk kita untuk semakin berubah dan terutama,
hijrah bisa mengubah nasib seseorang. hijrah itu pindah dari suatu tempat ke
tempat yang lain. Hijrah diartikan sebagai bentuk perubahan dari sikap yang
lemah ke kekuat. Dapat diartikan pula dari kebodohan ke pandaian. Kesemua itu
adalah bentuk dari perubahan kita. Singkatnya hijrah itu adalah perubahan diri
manusia. Nabi Muhammad sendiri hijrah dari Mekkah ke Madinah hanya untuk
mencari perubahan. Yaitu perubahan untuk mempersiapkan dakwah dan strateginya.
Begitupun pula kita sebagai manusia biasa yang tak luput dari dosa dan salah.
Sudah sepantasnya kita hijrah dari kegelapan ke jalan benderang. Dari
kemiskinan ke jalan finansial yang cukup dan tentunya kita merasa bersyukur
terhadap apa yang kita punya. Makanya dengan ini. Aku bertekat untuk hijrah,
aku akan melanjutkan sekolah di kota.
Akulah
Andi. Anak nelayan. Hijrah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Agar apa
yang kita jalani dikehidupan ini tidak terlalu monoton dan tentunya pengalaman
dan wawasan kita pun akan bertambah adanya. Makanya aku ingin hijrah dari
kampung.
“Aku
tak ingin terus-terusan melaut seperti ini. Aku tak ingin menjadi nelayan. Aku
mau sekolah setinggi-tingginya, meraih cita, membahagiakan kedua orang tua dan
tentunya bisa bermanfaat bagi agama, bangsa dan negara tercinta ini”. Kataku
pada ayah disaat kami berbicara ditengah laut.
Memang
apa yang tidak mungkin dari seorang nelayan?
Mengarungi lautan yang luas. Berteman terik matahari, bercengkrama dengan
nyanyian senandung ombak. Akan menyesal bila pulang tak seekor pun tangkapan
yang di dapati. Akan merugi bila kembali dengan tangan kosong. Akan malu bila
ketahuan mabuk di laut. Pun akan malu jua bila sia-sia menghabiskan waktu di
laut tanpa hasil apapun.
Laut itu luas, seluas rahmat-Nya Allah SWT. Sungguh aneh bila kita
mengeluh dengan keadaan diri yang tak sesuai dengan harapan yang di ingini.
Akan aneh bila kita menyalahkan Tuhan
jika Dia tak memberi kita rezeki. Padahal rezekinya luas, seluas lautan.
Tergantung kitanya bagaimana memanfaatkan laut itu. Tergantung
kita bagaimana mencari berkah di bahtera samudera nan luas. Jadilah hidup
seperti nelayan. Pantang menyerah dan berputus asa.
Bila hari ini belum musim ikan ataupun udang. Siapa tahu besok
akan ada rahmat-Nya. Boleh jadi besok akan ada musim ikan dan udang. Karena tak
selamanya hidup kita susah dan begini terus. Hanya kitalah yang bisa merubah
keadaan diri. Nelayan bila tak ditemukan ikan di tempatnya. Dia akan pergi jauh.
Mencari tempat-tempat yang banyak ikannya. Setelah banyak yang di dapatinya,
barulah dia kembali ke rumah, bercengkrama dengan keluarga tercinta.
Sampai disitu belum selesai jua, ada banyak pekerjaan
yang harus diselesaikannya. Terlebih membersihkan kapal-kapal yang telah di
pakai untuk melaut. Kapal ini dibersihkan sebersihnya untuk dipersiapkan di
hari esok, jika hendak akan melaut. Bisa dibayangkan bagaimana kesibukan nelayan,
sebab aku nelayan.
Hei. Syukurlah sekarang aku tidak melaut lagi. Setelah lulus
sekolah menengah pertama, aku melanjutkan ke sekolah menengah atas di kota,
hingga kuliah pun, aku tetap belajar di kota ini. Kota khatulistiwa. Pontianak.
Akan aku ceritakan kisah pertemanan sahabat-sahabatku yang hebat dan juga
seorang gadis yang pernah sempat singgah dihati.
Walaupun
tidak sempat ku miliki, tapi setidaknya aku bisa bilang padanya bahwa
sebenarnya kamulah yang ku inginkan. Bukan dia. Sekali lagi bukan dia. Tapi
kenyataannya keadaan berbalik 180*, yang kuinginkan dia tapi lain yang
diharapkan. Akhirnya, tak ku dapatkan dia, walau seberapa keras usaha yang ku
lakukan. Tetap saja tidak bisa. Meskipun kami sama-sama saling ada rasa cinta.
Hujan
di kota Khatulistiwa. Hujan mengingatkanku padamu. Padamu yang pernah singgah
dihati. Padamu yang pernah bersama disaat sore hujan turun. Dikala hujan memang
terasa menyakitkan mana kala teringat dirimu.
Semilir
sejuk angin yang berhembus dari rangkaian Sungai Kapuas. Langit-langit di jalan
kota Pontianak memang tak mendukung. Hembusan angin musim hujan, mengalir
menerpa di tepian gang-gang. Angin itu lalu, menyebar menciptakan kesejukan di
sepanjang jalan. Hujan turun semakin deras. Suasana semakin terasa dingin.
Selain keindahan, kota khatulistiwa ini memiliki sejarah yang sangat
menakjubkan. Apalagi kalau kisah tentang larinya hantu kuntilanak yang diusir
dengan meriam oleh Sultan Pontianak dan para kawan-kawannya. Maka seakan-akan
aku tak percaya. Kini aku berada di kota Khatulistiwa, sama dengan tidak
percayanya ketika dulu untuk pertama kalinya menginjakan kaki di kota ini.
Pepohonan
di belakang rumah tampak mengigil. Pohon-pohon itu seperti sekarat dalam
kedinginan di musim penghujan. Angin menggoyangkan ranting dan dahannya.
Dedaunan pohon itupun berguguran kemana-mana. Ah, itulah yang ku lihat di
suasana waktu itu. dingin menerpa. Pulang kehujanan dan terpaksa harus berteduh
terlebih dahulu.
Ku
kumpulkan segala rasa pada tulisan. Tak memberikan celah sedikitpun untuk
membuang rasa yang tak pernah ku mengerti. Walau dirimu hanya bayang semu,
dalam setiap mimpiku. Hujan yang selalu setia menemaniku dan dalam khayal
tentangmu. Walau diriku membenci hujan dan dirimu yang menyukai hujan. Namun kita
sama-sama menyukai pelangi setelah hujan.
Sore
itu hujan sangat deras. Aku terpaksa pulang dengan badan basah kuyup. Dingin
menyelimuti seluruh badan. Sudah menjadi kebiasaan setiap waktu hujan kala sore
tiba, aku sengaja pulang dalam hujan. Sengaja berbasah-basah menikmati rintik
hujan. Ini memang sudah menjadi kegemaranku mandi dalam hujan. Walau tidak
seperti masa kecil dulu, tapi apa salahnya melawan hujan yang deras tersebut.
Hujan
selalu membawa cerita sendu di setiap tetesnya. Di sana, awan hitam menggelantung
dengan muram siap menumpahkan isinya. Hujan memiliki peran mengenai arti
kesendirian, pengharapan, terabaikan, dan setiap tetes air mata.
Akulah
anak nelayan. Mencoba untuk bertahan, tertatih dari kegelapan menuju terang
benderang dengan menggapai ilmu sebanyak-banyaknya, meraih cita setinggi langit
dan tak kalah pentingnya, aku ingin bahagiakan kedua orang tuaku. Aku pasti
bisa.
Flash Fiction? :o
BalasHapusYa mbak. Sebenarnya ini dikategorikan Flash Fiction. Singkat banget.
HapusBagus ceritanya. :o
BalasHapusMakasih.
HapusIni nyata apa fiksi? :o
BalasHapusNyata
HapusApik. ini kategori cerita apa ya?
BalasHapusHanya cerita pendek Mbak.
HapusKisah nyata?
BalasHapusDuh carik ika teros.
BalasHapusIngat orang tua di rumah jadinya.
BalasHapus