Bincang
dan berbagi Novel 180* Karya Muhammad Cevi Abdulllah (35 thn) dan Norca M.
Massadi (61 thn). Saya pertama kali info tentang kedatangan kedua penulis novel
ini dari salah satu akun FB nya Kak Ninda (25). Kak Ninda sekaligus pemandu
acara ini. Sekitar seminggu sebelum acaranya. Saya penasaran saja, seperti apa
dan bagaimana acaranya nanti. Akhirnya saya mengomentari dan memutuskan untuk
ikut pada acara ini.
Tepatnya di Rumah Radakng Pontianak pada jam 14:30 WIB acaranya dimulai. Banyak yang antusias yang mengikutinya, terutama teman-teman yang bersuku Tionghoa. Iya, mereka begitu semangat dan antusias dalam mengikutinya. Untuk saya sendiri, sebagai anak yang pintar, saya memutuskan untuk duduk di depan pada barisan kursi kedua. Atau dalam istilah sholatnya, di shaaf kedua dan disamping saya ada teman. Sumama.
Tepatnya di Rumah Radakng Pontianak pada jam 14:30 WIB acaranya dimulai. Banyak yang antusias yang mengikutinya, terutama teman-teman yang bersuku Tionghoa. Iya, mereka begitu semangat dan antusias dalam mengikutinya. Untuk saya sendiri, sebagai anak yang pintar, saya memutuskan untuk duduk di depan pada barisan kursi kedua. Atau dalam istilah sholatnya, di shaaf kedua dan disamping saya ada teman. Sumama.
Acara
pertama kali dimulai dengan penampilan seorang pakar Monolog. Bapak Herman. Ah,
ini adalah pertama kalinya saya melihat monolog secara langsung. Saya juga “baru”
tahu ternyata monolog itu adalah membaca buku di depan khalayak ramai
(panggung).
Lalu
kemudian kami para peserta disuguhkan untuk menonton video launching novel
kedua penulis ini di berbagai kota di Indonesia dan cuplikan film yang dibuat
oleh Muhammad Cevi Abdulllah. Sepertinya dia sangat berbakat pada bidang seni. Iya,
emang dia waktu masih kuliah aktif di kegiatan mahasiswa pada seni teater. Makanya
buat kawan-kawan, mumpung masih kuliah, manfaatkanlah masa-masa kuliah kita. Kata
Mas Cevi.
Selain
menjadi pengusaha yang sukses dan memiliki aset triliunan rupiah, Mas Muhammad
Cevi Abdulllah ini sempat-sempatnya berbagi pengalaman hidupnya melalui novel
yang ditulisnya. Sebenarnya sudah lama dia mau menulis novel ini, tapi
terkendala kemampuannya dalam menulis. Dia beberapa kali mengajak para penulis,
untuk bergabung dalam kepenulisan novel ini, tapi lagi-lagi karena memiliki
persepsi yang berbeda, akhirnya tidak
jadi juga. Dan sampai pada akhirnya dia menemukan seorang penulis profesional Bapak
Norca M. Massaid (61 Thn) yang sangat berpengalaman dalam dunia kepenulisan. Pertama
dia diminta untuk menulis dua bab dulu, setelah dibacanya, akhirnya mereka
berdua memiliki latar belakang masa kecil yang sama. Akhirnya mereka berdua
memutuskan untuk menulis novel 180* ini, judulnya 180 derajat.
Kenapa
mereka beri judul 180 derajat? Karena kalo ingin melakukan sesuatu jangan
setengah-setengah lakukanlah dengan sungguh-sungguh sampai kita bisa meraih
segala apa yang diinginkan. Mereka berdua juga memberikan pesan. Novel yang
memiliki toko yang bernama Tora ini, sangat bagus untuk dibaca oleh seluruh
kalangan.
Ini novel perjuangan seorang yang bernama Tora,
bagaimana dia bisa meraih segala impian dan ambisi besarnya. Karena Tora
selalu mempunyai prinsip, sederhana dalam berprilaku dan berbahasa dan jika
ingin melakukan sesuatu, lakukan dengan sebaik-baiknya. Hidup harus punya mimpi
dan ambisi yang besar. Dan nasib kita, bukan orang lain yg menentukan, tapi
kitalah sendiri.
Tora ingin dimengerti. Mengerti bahwa ia ingin
berbagi sesama. Tora berjuang dengan semaksimal mungkin, hingga mendapati apa
yang diinginkannya. Seteleh sukses, Tora ingat masa-masa susahnya dulu. Bahwa untuk
mendapatkan yang lebih harus melakukan yang lebih pula. Jika kita dapat uang
seribu rupiah syukuri aja begitu juga sebaliknya jika dapat uang puluhan milir
syukuri juga. Sosok Tora ini menggambarkan sosok orang yang ingin berubah
menjadi 180 derajat, yang berusaha dari nol hingga menemukan segala kesuksesan
yang nyata. Mereka berdua juga memesankan jadilah raja di kampung sendiri. Kenapa
harus menjadi raja di kampung sendiri? Karena semua orang jika udah kuliah
tinggo-tinggi sudah tidak mau lagi membangun kampungnya. Mereka hampir semua ke
kota, maka dari itu, kita setidaknya dapat memajukan tempat kelahiran kita.
Acara ini juga semua peserta mendapatkan buku
novel secara gratis dan berkesempatan berfoto bersama kedua penulis. Tapi sedihnya
lagi saya tidak mendapatkan novelnya, karena saya pulangnya cepat. Semoga aja
saya bisa mendapatkan bukunya. Soalnya pengen banget bacanya.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda