Ternyata saya masih bisa
diberi kesempatan untuk hadir di acara Dialog Komunitas Bahasa dan Sastra bagi
Penulis sastra di Kalimantan Barat Tahun 2016 yang diselenggarakan oleh Balai
Bahasa Kalimantan Barat. Selasa 23 Agustus 2016. Inilah untuk pertama kalinya saya datang kesini.
Sebelumnya sempat saya
tulis. Eh, ternyata saya lupa nge-save
tulisan yang saya buat tadi pagi. Jadi deh, buat tulisan lagi. Tapi gak apa2
juga sih, kan tadi hanya beberapa puluh kata yang saya tulis. Saya paksakan
diri untuk menuliskan ini. Setidaknya ini adalah bentuk rasa syukur dan
terimakasih saya kepada Balai Bahasa Kalimantan Barat, sebab telah memberi
kesempatan bagi saya untuk jadi peserta.
Banyak hal yang saya
dapatkan dan tentunya bisa saya terapkan dikehidupan sehari-hari dari mengikuti
kegiatan ini. Kegiatan ini tentunya bertujuan untuk mensukseskan dalam Rangka
Gerakan Literasi Nasional (RGLN). Kegiatan yang diikuti oleh sastrawan Kalbar,
para guru, mahasiswa dan siswa satu orang saja.
Tampak begitu antusias
dan rame ternyata. Sebelumnya saya kira, nih acara palingan belasan orang yang
hadir. Ternyata dugaan saya meleset. Saya lihat, begitu rame motor yang parkir
di depan Aula Balai Bahasa Kalbar. Sebuah keadaan yang tak saya sangka
sebelumnya. Ternyata begitu banyak orang yang mencintai sastra di bumi West
Borneo ini. Sastra di Kalbar hidup dan takkan pernah mati.
Kameranya terlalu kecil kalo foto2 |
Dengan tema Kemana Arah
Sastra Kalbar? Ada keresahan yang dialami sastrawan. Kurangnya pembelajaran
sastra disekolah. Serta sekolah kekurangan guru yang mengajarkan sastra.
Apalagi untuk pelajaran Mulok (Muatan Lokal) di sekolah2, kenapa ya kok yang diajarin itu cara menanam,
kan aneh. Saya yakin, semua orang sudah tau, cara menanam, seharusnya yang
namanya Mulok itu adalah sesuatu yang berhubungan dengan budaya. Kenapa sekolah
tidak mengajarkan sesuatu yang berbau budaya dan muatan lokal? Mungkin ini bisa
jadi renungan kita bersama. He.
Waktu saya SMA,
pelajaran Muloknya Bahasa Inggris. Apakah Bahasa Inggris itu sesuatu yang lokal dan budaya? Tidak kan!. Saya kira, bukan di sekolah saya saja yang demikian,
banyak sekolah2 lainnya yang demikian. Ini tentunya kembali kepada kebijakan
sekolah masing2. Aneh juga ya, kok muatan lokal, belajarnya bahasa asing.
Di sesi terakhir,
peserta diajak bagaimana caranya menulis kreatif dan bernilai ekonomi. Intinya bagaimana
penulis itu bisa hidup dari tulisannya. Kalo kata pemateri (Ya Allah saya lupa
siapa namanya), “Jangan tulis apa yang bisa kita tulis, tapi tulislah sesuatu
yang bisa kita jual.” Ujar mantan Redaktur penerbit Kompas itu. Beliau juga
telah menghasilkan 87 buah buku serta ratusan artikel dan cerpen.
Itu aja dulu tulisan
saya kali ini. Terima kasih buat Balai Bahasa Kalimantan Barat yang telah
memberi kesempatan buat saya untuk jadi peserta. Semoga di tahun depan bisa
berkesempatan hadir lagi (itu pun jikalau diadakan lagi).
ok
BalasHapusSip
Hapussedap kegiatan tu mat, naa aku ade postingan baru mat https://ridhorizqi12.blogspot.co.id/2016/09/kuroko-no-basket-extra-game.html
BalasHapusOke...
HapusSip
BalasHapus